PEMBERLAKUAN SNI SECARA WAJIB DI SEKTOR INDUSTRI :
EFEKTIFITAS DAN BERBAGAI ASPEK DALAM PENERAPANNYA
Pemberlakuan SNI secara wajib merupakan semua produkk SNI yang dipasarkan
di Indonesia harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan baik itu berasala
dari produksi dalam neger maupun impor. Pemberlakuan penerapan Standar Nasional
Indonesia (SNI) secara wajib merupakan salah satu upaya perlindungan terhadap
industri dalam negeri sekaligus terhadap konsumen pengguna produk.
Pengamatan Badan Standarisasi Nasional (BSN) tahun 2006 memberikan gambaran
bahwa hanya 19,6% SNI yang digunakan di pasar (Eddy Herjanto, 2006). Hal
tersebut mengindikasi bahwa SNI belum bisa diterima secara efektif di kalangan
industri dan selain itu masih banyak produk yang bertanda SNI namun mutunya
tidak sesuai dengan persyaratan SNI.
Pemberlakuan SNI wajib agar dapat berjalan dengan efektif diperlukan kajian
secara komprehensif terhadap stadar teknik itu sendiri dan berbagai aspek yang
mempengaruhi efektifitas pemberlakuannya seperti aspek regulasi, manajemen,
institusi dan ekonomi. Keberhasilan SNI dapat diukur dengan tingkat
penerapannya di lapangan seperti digunakan sebagai acuan dalam mutu produk,
proses produksi, metode uji, atau acuan dalam pendidikan atau pelatihan.
Jumlah SNI yang ada berkembang terus menerus hingga pada pertengahan 2009
mencapai lebih dari 6500 SNI dengan sektar 4100 standar bidang industri dan
terus meningkat mencapai 4250 SNI pada akhir tahun 2010. Penerapan SNI pada
dasarnya bersifat sukarela, namun SNI yang berkaitan dengan kepentingan
kesehatan, keselamatan, keamanan dan pelestarian lingkungan hidup (K3L) atau
atas dasar pertimbangan tertentu diberlakukan wajib.
Penelitian yang dilakukan mengguanaan sampel sebanyak 447 perusahaan yang
tersebar di 22 provinsi. Semuanya merupakan industri yang memproduksi SN wajib.
Sebaran sampel terbesar yaitu di provinsi Jawa barat sebanyak 28%, Jawa timur
18,1%, DKI Jakarta 16,6%, Jawa tengah 14,3% dan Banten 9% serta sisanya
tersebar di 17 provinsi lainnya. Berdasarkan sektor industri, terbanyak adalah
sektor industri minuman dengan 110 perusahan (24,6%), indstri logam dan mesin
dengan 106 perusahaan, kimia hilir sebanyak 102 perusahaan, aneka industri
sebanyak 58 perusahaan dan kimia hulu sebanyak 29 perusahaan serta berbagai
sektor industri lain yang berjumlah 42 perusahaan.
Berdasarkan hasil penelitian, total perusahaan industri yang memiliki
SPPT-SNI yang valid hanya 55,05% dan sisanya sertifikat sudah kadaluarsa atau
bahkan belum ada sama sekali. SPPT-SNI merupakan persyaratan boleh atau
tidaknya suatu produk SNI wajib diedarkan di pasar. Hasil penelitian terhadap
keabsahan SPPT-SNI menunjukan total terdapat 315 perusahaan yang memiliki SPPT
SNI namun 69 perusahaan sertifikatnya sudah tidak berlaku dengan rentang
kadaluarsa rata-rata 2,6 tahun, bahkan sertifikat milik 25 perusahaan sudah
kadaluarsa lebih dari 5 tahun.
Salah satu syarat emiliki SPPT SNI adalah penerapan sistem manajemen mutu
dalam perusahaan. Diketahui sebanyak 32,4% telah menerapkan ISO 9001 sebagai
standar sistem manajemen mutu yang diakui internasional, sebagain diantaranyya
menerapkan standar sistem mutu internasional yang lainnya Sekitar 55% dari
perusahaan pemilik SPPT SNI yang masih menggunakan pedoman BSN 10 sebagai acuan
sistem mutunya. Pedoman BSN 10 digunakan hanya untuk industri kecil dan
transisi sebelum beralih ke ISO 9001.
Aspek penerapan standar dianggap telah memadai namun masih diangap
kelemahan pada aspek kelembagaan, peraturan daerah dan aspek ekonomi yang belum
efektif dan masih memerlukaan penyempurnaan. Dya dukung LSPro dan laboratorium
uji dalam fungsi penilaian kesesuaian sudah memadai namun dengan bertambahnya
jumlah SNI waji, diperlukan pengembangan secara kontinu pada lembaga terkait.
Diketahui masih banyak laboratorium uji yang belum mamppu menguji semua
parameter dalam SNI.
Produsen menghadpi berbagai hambatan dalam menerapkan SNI wajib. Hambatan
utama yang dihadapi produsen dalam penerapan SNI wajib adalah keterbatasan
sumber daya manusia, kesulitan untuk
mengkalibrasikan peralatan laboratorium dan produksi, adanya distorsi produk
sub standar di pasar, biaya sertifikasi yang relatif mahal dan kepedulian
konsumen terhadpa standar masih kurang.
Sumber: